Arifianto Fendy

Aku adalah aku...

· Ingat pencurian itu terjadi karena adanya suatu kesempatan maka dari itu, waspadalah…..waspadalah… .

· Pada tahun 2008 silam terjadi lah sebuah pencurian di sebuah lembaga pendidikan yang cukup terkenal di Yogyakarta, yang dilakukan oleh siswa terhadap siswa yang lainnya, yang berupa pencurian uang sejumlah Rp. 750.000,00. Uang itu sebenarnya akan digunakan oleh korban untuk membayar tagihan sekolah, tapi malang nasibnya. Uangnya raib diambil tersangka. Hal ini memenag menyedihkan tapi apa boleh buat , nasi telah menjadi bubur, mungkin ini peringatan bagi kita agar selalu berhati – hati terhadap setiap orang karena boleh jadi di depan kita berlaga sopan dan baik, tapi di balik itu tersimpan sebuah kebusukan yang lambat laut pasti akan terbongkar. Sebagaimana pepatah mengatakan “ setinggi – tinggi tupai melompat pasti akan jatuh juga.

A. Hal – hal yang kami lakukan untuk mencari pelaku pencurian pelaku , yaitu :

1. Mencari bukti / fakta dengan cara memanggil korban dan meminyai keterngan sehubungan dengan permasalahan.

2. Memengil teman yg sering berinteraksi dengan si korban

3. Mengumpulkan semua siswa untuk mengklarifikasi masalah itu

4. Memangil semua siswa yang sering melakukan pelanggaran

5. Kita terjun langsung ketempat kejadian

6. Melatih kejujuran dia antara siswa

Ternyata dari enam yang kami terapkan berhasil dan yang paling dominan adalah kejujuran. Maka kami mengambil kesimpulan bahwa tidak semua pencuri itu jahat, tapi mereka masih mempunyai hati nurani dan mungkin hal itu dilakukan kerana unsure keterpaksaan / tapi memang ada juga yang hobinya mencuri.

B. langkah yang kedua, setelah kita menemukan pelakunya :

1. mengklarifikasi inti masalah yang sebenarnya

2. mencari maksud serta tujuan dari pencurian itu

3. menyuruh pelaku untuk menulis semua kejahatan yang dia lakukan di sebuah kertas yang sudah kita siapkan sejak dia berada di lembaga pendidikan ini.

Hal yang paling saya sukai pada langkah kedua ini adalah pada nomor ke tiga, yaitu menyuruh kepada pelaku untuk menulis semua kejahatan yang telah dilakukan pada tengah malam jam 1 – 2 setelah menyelesaikan sholat tahajud dan kemudian saya menyuruh mereka untuk beristirahat, sedangkan saya menyakin semua apa yang dia tulis dalam kertas kemudian saya simpan, dan hasil tulisan pelaku saya robek dan saya buang. Di hari berikutnya saya memanggil yang kedua kelinya dan menyuruh supaya pelaku untuk menulis ulang yang kedua kelinya apa yang dia tulis sebelumnya, alasannya kertas yang kemarin saya lupa meletakkan entah dimana. Setelah pelaku menulis maka saya membandingkan tulisan yang kemarin dengan yang sekarang, maka hal yang terjadi adalah banyak terdapat perbedaan – perbedaan dengan tulisan yang sebelumnya dan pada akhirnya si pelaku mengakui atas semua kesalahan yang telah dia perbuat dan siap untuk menegembalikan barang – barang yang telah dia ambil selama ini.

C. Langkah ketiga yaitu nasihat serta pemberian motivasi terhadap pelaku bahwa apa yang telah dikerjakan selama ini adalah salah dan kita tetap memberikan motivasi bahwa masih ada jalan atau pekerjaan yang lebih baik dari pada mencuri.

D. Langkah ke empat bentuk hukuman

1. Menghatamkan Al quran 30 juz dalam kurun waktu 2 hari

2. Membaca dan menghafal hadits

3. Membersihkan lingkungan masjid dan sekitarnya

4. Sholat dhuha dan tahajud

5. Membuat surat pernyataan

6. Pemanggilan orang tua / wali

E. Pendekatan

Hal ini kita terapkan agar si pelaku tidak merasa di jauhi atau digunjingkan oleh teman – temannya sehingga si pelaku merasa aman dan tentram dalam menerima pelajaran yang diberikan oleh guru – gurunya, dan harapan kami dengan cara ini juga pelaku bias sadar dan kembali kepada jalan yang lurus.

Semua orang yang berakal pasti sepakat bahwa persatuan itu sangat penting dan dibutuhkan oleh umat yang menginginkan kemenengan. Sungguh, syari’at telah memperhatikan hal itu dan bagaimana menjaganya.

Pada akhir-akhir ini, berbagai perselisihan silih berganti. Perselisihan memang sudah kepastian yang akan terjadi pada umat. Tapi, perselisihan yang terjadi sekarang ini sudah melampaui batas sehingga perlu adanya wasiat dan pencerahan terhadap makna persatuan.

Di antara dalil-dalil yang menjelaskan akan pentingnya menyatukan barisan adalah sebagai berikut.

  1. Nash-Nash dari Al-Qur’an

Sungguh Al-Qur’an telah menjaga persatuan umat. Hal ini dijelaskan dalam banyak ayat Al-Qur’an, di antaranya Allah Azzawajalla berfirman (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan. Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali-Imran: 102-103).


Jikalau Tuhan-mu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu, dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhan-mu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.” (Hud: 118-119).

Maksud dari firman Allah Ta’ala “Untuk Itulah Allah menciptakan mereka” adalah sebagaimana yang ditafsirkan oleh Ibnu Jarir, orang yang mendapatkan rahmat Allah tidak akan berselisih pada perselisihan yang membahayakan (tafsir Ibnu Jarir, 12/34).

Ibnu Abbas ra. menjelaskan bahwa Allah telah menciptakan mereka menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang dirahmati Allah (tidak akan berselisih), dan kelompok yang tidak dirahmati Allah (akan berselisih). Sehingga, ada di antara mereka yang celaka dan bahagia. (Tafsir Ibnu Jarir, 12/34).

2. Menyatukan Barisan adalah Salah Satu Tujuan Allah Mengutus Para Nabi-Nya

Para nabi a.a. adalah utusan Allah yang menyerukan untuk menyatukan barisan dengan satu kalimat. Imam Baghawi mengatakan, “Allah telah mengutus para nabi untuk menegakkan agama, menyatukan umat, dan meninggalkan perpecahan serta perselisihan.” (Ma’alim At-Tanzil, Ibnu Jarir Ath-Thabari, hal. 4/122).

Sebelumnya, para nabi pun pernah berselisih pendapat, di antaranya Musa a.s. menyelisihi Harun a.s. Dalam firman Allah dijelaskan: “Berkata Musa: ‘Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka Telah sesat, (sehingga) kamu tidak mengikuti Aku? Maka apakah kamu Telah (sengaja) mendurhakai perintahku?’ Harun menjawab: ‘Hai putra ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): ‘Kamu Telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku’.”

Begitu juga perselisihan yang terjadi antara Hidlir a.s. dan Musa a.s., dan antara Sulaiman a.s. dan Daud a.s. Allah berfirman: “Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah kami berikan hikmah dan ilmu dan telah kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud, dan kamilah yang melakukannya.” (Al-Anbiya’: 78-79).

Bahkan, malaikat pembawa rahmat dan malaikat penyiksa pun pernah berselisih pada seorang lelaki yang mati dan telah membunuh seratus orang. (Lihat Itsarul Haqqi ‘Alal Khalqi, Ibnul Wazir, hal. 119).

Hanya saja, perselisihan yang terjadi di antara mereka tidak menyebabkan kepada perpecahan dan permusuhan.

3. Nash-Nash dari As-Sunnah

Rasulullah saw. memerintahkan umatnya untuk menyatukan barisan dan melarang dari perpecahan dan perselisihan.

Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah ridha terhadap kalian pada tiga hal, dan membenci kalian pada tiga hal. Yaitu, engkau menyembah-Nya dan tidak menyekutukannya, engkau berpegang teguh pada tali Allah dan jangan kalian berpecah-belah. Dan membenci ucapan katanya, banyak ucapan, dan menyia-nyiakan harta.” (HR Muslim [1715]).

Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah memerintahkan Yahya bin Zakariya dengan lima kalimat untuk melaksanakannya dan memerintahkan Bani Isra’il supaya mereka mengerjakannya.” Lalu Nabi saw. bersabda: “Saya perintahkan kepada kalian dengan lima hal yang Allah memerintahkanku dengannya, yaitu untuk mendengar, taat, jihad, hijrah, dan berjama’ah. Karena orang yang menyelisihi jama’ah sejengkal saja, maka dia telah melepas tali Islam dari punggungnya, kecuali bila ia kembai.” (HR Ahmad [16178] dan Tirmidzi [2863]).

Berkata Ibnu Umar r.a., Umar telah berkhutbah seraya berkata, “Wahai manusia, saya beridiri di depan kalian adalah mewakili Rasulullah saw., beliau bersabda: ‘Saya wasiatkan kalian dengan para sahabatku, kemudian orang-orang setelah mereka, dan kemudian orang-orang setelah mereka. Sungguh, setelah mereka akan muncul berbagai kedustaan, hingga ada seorang lelaki yang berjanji tapi tidak menepati janjinya. Ada orang yang menjadi saksi tapi kesaksiannya tidak dapat dijadikan sebagai saksi. Dan, tidaklah seorang lelaki berkhalwat dengan seorang wanita kecuali ketiganya adalah syaitan. Hendaknya kalian berjama’ah dan jangan berpecah-belah. Karena syaitan bersama orang yang sendirian, dan syaitan lebih jauh dari orang yang berdua. Barang siapa yang menginginkan baunya surga, maka hendaklah ia melazimi jama’ah’.” (HR Tirmidzi [2165] dan Ahmad [115]).

4. Sejarah Para Sahabat Nabi

Perbedaan pendapat sering kali terjadi di kalangan para sahabat, tapi hati dan jiwa mereka tetap bersih.

Di dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar pernah mengutip penjelasan Al-Qurtubi, orang yang memperhatikan dan mengkaji perselisihan yang terjadi antara Abu Bakar r.a. dan Ali r.a. dengan adil, maka dia akan mengetahui bahwa mereka saling mengakui keutamaannya masing-masing, dan hati mereka tetap terbangun untuk saling menghormati dan mencintai.

Dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya berkata, saya pernah mencela Hasan r.a. di depan ‘Aisyah r.a., maka dia berkata, “Jangan kamu mencelanya, karena dia telah mendapatkan bau harum dari Rasulullah saw.” (HR Bukhari [6150]).

Begitu juga dengan Ibnu Abbas r.a., ia pernah memuji Ibnu Zubeir di tengah perselisihan yang terjadi di antara mereka berdua. Ibnu Mulaikah berkata, “Di antara mereka berdua pernah terjadi perselisihan sehingga saya mendatangi Ibnu Abbas dan berkata, ‘Apakah engkau ingin membunuh Ibnu Zubeir dengan melanggar aturan Allah?’ Maka Ibnu Abbas berkata, ‘Saya berlindung kepada Allah, sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi Ibnu Zubeir dan Bani Umayah untuk berselisih. Dan saya, demi Allah, tidak akan ikut campur.’ Ada orang yang berkata kepadanya, ‘Orang-orang telah membai’at Ibnu Zubeir.’ Lalu beliau berkata, ‘Apakah perkara itu salah? Bukankah ayahnya adalah seorang hawari (pendamping Nabi saw., yang dimaksud adalah Zubeir), sedangkan kakeknya adalah sahabat Rasulullah saw. ketika di Gua Hira? Abu Bakar, ibunya adalah Asma’, bibinya adalah umul mukminin ‘Aisyah; bibinya juga adalah istri Nabi saw., Khadijah; neneknya adalah bibi Nabi saw., Shafiyah; Abdullah bin Zubeir adalah seorang yang baik dalam keislamannya dan pembaca Al-Qur’an’.”

Begitu juga dengan Ibnu Mas’ud r.a., ia sering sekali menyelisihi pendapat Umar bin Khatab r.a. Meski demikian, sungguh hati mereka selalu bersih, tidak ada tempat bagi hawanafsu di hatinya. Perselisihan yang terjadi di antara mereka tidak mengurangi sedikit pun keadilan mereka, dan tidak mengarah kepada permusuhan.

5. Jama’ah

Di antara nama lain Ahlus Sunnah adalah jama’ah. Mereka sangat bersungguh-sungguh menyerukan kepada persatuan. Bagaimana tidak, mereka adalah jama’ah dan kelompok sawadul a’zham (kelompok mayoritas).

At-Thahawi rhm. mengatakan, “Kami berpendapat bahwa jama’ah adalah kebenaran, sedangkan perpecahan adalah kesesatan dan azab.”

Imam Nawawi mengomentari hadits berikut, “Dan janganlah kalian berpecah belah,” hadits tersebut merupakan perintah untuk melazimi jama’ah kaum muslimin dan saling lemah lembut antara satu dengan lainnya. Hal ini merupakan salah satu kaedah dalam Islam. (Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi, Imam an-Nawawi, hal. 11/12).

Ibnu Taimiyah rhm. berkata, “Kebaikan adalah semua kebaikan yang mengikuti salafus shaleh (orang-orang terdahulu), memperbanyak pengetahuan terhadap hadits Rasulullah saw., mendalaminya, berpegang teguh dengan tali Allah, melazimi jama’ah, dan menjauhi segala sesuatu yang dapat menyebabkan kepada perselisihan dan perpecahan. Kecuali, bila perkara tersebut jelas-jelas diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan, bila perkara tersebut masih samar, apakah perkataan dan perbuatan ini dapat menyebabkan pelakunya kepada perselisihan atau perpecahan, maka wajib untuk meninggalkannya.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, hal. 6/505).

6. Maslahat Jama’ah Tidak Sebanding dengan Mafsadat (Kerusakan) dari Perpecahan

Banyak sekali orang yang ingin mencapai suatu maslahat (manfaat) tetapi dengan melaksanakan mafsadah yang dapat menimbulkan perselisihan dan perpecahan. Padahal, kemanfaatan dalam berjama’ah itu sama sekali tidak sebanding dengan kerusakan yang menyebabkan kepada perpecahan dan perselisihan.

An-Nu’man bin Basyir r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Membicarakan nikmat Allah adalah syukur dan meninggalkannya adalah kufur (ingkar). Barang siapa yang tidak mensyukuri nikmat yang sedikit, maka dia pun tidak akan bisa mensyukuri nikmat yang banyak. Barang siapa yang tidak bersyukur kepada manusia, maka dia tidak akan bisa bersyukur kepada Allah. Dan, jama’ah adalah barakah sedangkan perpecahan adalah adzab.” (HR Al-Baihaqi dan dihasankan oleh Al-Bani dalam Shahihil Jami’ [3014]).

Ibnu Mas’ud r.a. berkata, “Wahai manusia, hendaklah kalian taat dan berjama’ah, karena ia adalah jalan yang paling pokok untuk menuju kepada tali Allah yang telah diperintahkan. Dan, sungguh tidak sukanya kalian ketika berada di suatu jama’ah itu lebih baik daripada kalian bersenang-senang dalam perpecahan.” (HR Al-Lalika’i dalam kitab Syarhu Ushuli I’tiqadi Ahlis Sunnah, hal. 158-159 dan Asy-Syari’ah, Al-Ajrawi, hal. 13).

Dalam mengomentari hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rhm. berkata, “Apalagi bila perkara tersebut menimbulkan kejahatan yang begitu panjang dan perpecahan Ahlus Sunnah, maka kerusakan yang timbul pada perpecahan ini berlipat ganda dari kesalahan kecil seseorang dalam masalah furu’ (cabang).”

7. Kebangkitan Islam Membutuhkan Penyatuan Barisan

Kalaulah perkara jama’ah dan penyatuan barisan merupakan perkara yang sangat penting, maka tentunya hal itu sekarang lebih dibutuhkan untuk mewujudkan kebangkitan Islam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perpecahan yang terjadi pada umat Islam, para ulama, dan para syaikhnya, serta para pemimpin dan pembesarnya sangat disukai oleh musuh-musuh Islam. Dan, hal itu bisa terjadi lantaran mereka meninggalkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, ‘Dan di antara orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya kami ini orang-orang Nasrani,’ ada yang telah kami ambil perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya. Maka kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat, dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang mereka kerjakan.” (Al-Maidah: 14).

Tatkala orang meninggalkan apa-apa yang telah Allah perintahkan kepada mereka, pasti akan terjadi permusuhan dan kebencian di antara mereka. Bila suatu kaum sudah berpecah-belah, pasti mereka akan rusak dan hancur; bila berjama’ah, mereka akan mendapatkan kebaikan. Karena, jama’ah adalah rahmat dan perpecahan adalah adzab (siksa).” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, hal. 3/421).

Sarana Penyatuan Barisan

Di antara sarana untuk menyatukan barisan adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui pentingnya penyatuan barisan.

Kaum muslimin harus meyakini pentingnya penyatuan barisan dan menyebarluaskan hadits-hadits yang berkenaan dengan hal itu hingga benar-benar mengetahui dan yakin akan hal tersebut.

2. Menguatkan tali hubungan.

Di antara sarana yang dapat membantu terwujudnya penyatuan barisan adalah dengan menguatkan hubungan antara para aktivis dan da’i serta kaum muslimin secara umum. Hal ini bisa dilakukan di sela-sela hubungan pribadi, silaturrahmi, berkumpul, menegakkan syari’at bersama, dan saling membantu dalam pekerjaan ataupun yang lainnya.

Hubungan saudara sesama muslim yang disertai dengan rasa cinta akan membuka pintu dialog ketika terjadi perselisihan. Kecintaan tersebut akan menjembatani perselisihan yang terjadi di antara mereka. Berbeda halnya bila mereka tidak pernah berhubungan. Kemungkinan besar akan sulit untuk disatukan.

3. Menimbang perkataan yang benar.

Tidaklah seorang muslim merasa keberatan untuk menyatukan barisan, kecuali di hatinya ada nifaq dan tidak suka untuk menolong agama Allah. Tidaklah seseorang cukup berhujah dengan kebenaran, tapi dia juga harus memperhatikan beberapa hal berikut.

1. Hendaknya kebenarannya benar-benar jelas dan nyata.

Banyak masalah yang menghalangi tercapainya kesatuan barisan. Contohnya permasalahan-permasalahan ijtihad yang cakupannya sangat luas. Dalam hal ini tidak mungkin bisa disatukan, sehingga tidak seyogyanya satu sama lain saling mengingkarinya, terlebih saling bermusuhan. Atau, dalam hal pelaksanaan jihad, sungguh dalam perkara ini sangat luas sekali pembahasannya. Sehingga, seyogyanya seorang muslim tidak cepat menghukumi orang lain yang belum bisa berjihad sebelum melakukan pembahasan yang mendalam mengenai hal ini.

2. Hendaknya kebenaran tersebut disertai dengan penjelasan dan ilmu.

Imam Bukhari dalam kitab Jami’ush Shahih mengutip perkataan Imam Ali r.a., “Ceritakanlah kepada manusia dengan apa yang bisa mereka mengerti, apakah engkau senang bila dia mendusatakan Allah dan Rasul-Nya?” (HR Bukhari, Kitabu al-Ilmi, no. 124).

‘Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata, “Tidaklah engkau megatakan suatu perkataan kepada suatu kaum yang tidak bisa dicapai oleh akal mereka, kecuali akan menimbulkan fitnah pada sebagian mereka.” (HR Muslim dalam muqaddimah shahihnya).

3. Hendaknya menjelaskan kebenaran dengan metode yang sesuai.

Seorang muslim seyogyanya berbuat adil dan menjauhi kezhaliman. Selain itu, ia juga harus paham bahwa tanggung jawabnya dalam menyampaikan kebenaran adalah untuk menyatukan barisan kaum muslimin.

4. Hendaknya dalam menjelaskan kebenaran dilakukan oleh orang yang pantas.

Hendaknya seseorang berdakhwah sesuai dengan kedudukannya masing-masing, seperti seorang pejabat berdakwah di kalangan para pejabat dan lainnya. Sekalipun, hal ini tidak mutlak.

5. Setelah sempurnanya penjelasan kebenaran, hendaknya tidak terburu-buru menjelaskan hal yang dapat menimbulkan perselisihan.

Permasalahan yang bertele-tele dan tidak ada gunanya hanya akan membawa kepada perselisihan dan perpecahan umat.

4. Adil dalam menghukumi kesalahan.

Seorang muslim tidak mungkin terlepas dari kesalahan, kecuali Nabi Muhammad saw., sekalipun orang tersebut bertakwa, berilmu, dan wara’.

Sebagaimana telah diketahui, kesalahan merupakan perkara yang bertingkat-tingkat. Seperti halnya dosa, ada dosa-dosa besar dan ada dosa-dosa kecil. Salah dalam perkara yang sudah nyata kebenarannya tidak sama dengan kesalahan pada perkara yang masih samar. Menyelisihi dalil yang sudah jelas-jelas shahih tidak sama dengan menyelisihi dalil yang masih muhtamal (yang masih ada kemungkinan shahih, hasan, atau dhaif) atau fatwa para ulama.

Tatkala telah jelas penjelasan akan kesalahan seorang ulama atau da’I, hendaknya ia adil dalam hal itu dengan menjauhi kesalahan tersebut, menjauhi sifat berlebih-lebihan dalam semua hal, dan menjauhi perselisihan dan perpecahan.

5. Setiap orang mempunyai kelebihan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rhm. berkata, “Ini adalah inti pembahasan pada bab ini. Seorang mujtahid yang berpegang pada dalil yang dilakukan oleh seorang imam, penguasa, ulama, pengamat, mufti, dan selainnya, apabila telah berijtihad dan berlandaskan kepada dalil, maka bertakwalah kepada Allah semampunya. Karena, inilah yang dibebankan Allah kepadanya. Orang yang menaati Allah, maka baginya pahala, maka bertakwalah semampunya dan Allah tidak akan membebani seseorang di luar kemampuannya. Berbeda halnya dengan orang-orang yang berpaham Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Qadariyah.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah: 19/216-217).

Beliau juga berkata, “Adapun para Nabi–semoga Allah meridhai mereka semua—mereka adalah sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama, yaitu ma’shum dari dosa. Adapun, orang-orang yang jujur, para syuhada`, dan orang-orang shalih, mereka bukanlah orang-orang yang ma’shum. Orang yang berijtihad terkadang mendapatkan pahala dan tekadang salah. Apabila mereka berijtihad dan benar ijtihadnya, maka baginya dua pahala; sedangkan mereka yang berijtihad dan salah, maka baginya satu pahala atas kesungguhan ijtihadnya, dan kesalahan mereka diampuni. Adapun orang-orang sesat, mereka menjadikan kesalahan dan dosa sebagai hal biasa. Bahkan, terkadang mereka berbuat melampaui batas. Mereka mengklaim diri mereka ma’shum. Selain itu, mereka juga menyatakan bahwa orang beriman dan berilmu tidak ma’shum tapi juga tidak berdosa.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, hal: 35/69).

6. Saling menghormati.

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, manusia tidak ada yang ma’shum, kecuali Nabi saw. Akan tetapi, kebanyakan para aktivis tidak menyadari hal ini. Tatkala ada seorang ulama yang berbuat salah, mereka langsung mengkritik dan menjatuhkannya tanpa memperhatikan aturan-aturannya.

Hendaknya para ulama dan aktivis saling bermuamalah dengan baik, saling menghormati, baik dengan orang yang lebih tua atau yang lebih kecil.

7. Hendaknya tidak disibukkan mencari-cari kesalahan manusia.

Seorang muslim diperintahkan untuk menjaga lisannya dan menjaga kehormatan kaum mukminin. Lalu, bagaimana dengan orang yang hanya disibukkan mencari-cari kesalahan saudaranya semuslim? Maka, hendaknya orang yang sering disibukkan mencari-cari kesalahan orang lain mengintrospeksi diri, boleh jadi hal itu hanya dilatarbelakangi oleh hawa nafsu.

8. Menghormati orang yang lebih tua.

Syariat telah memerintahkan kita untuk bertawadhu’ (rendah hati). Kesalahan mereka tidaklah sama dengan kesalahan selain mereka. Oleh sebab itu, hendaknya selalu dijaga kedudukan mereka. Bila ada kesalahan, perkara mereka berbeda dengan selain mereka.

Sa’id bin al-Musayyib rhm. berkata, “Tidak ada orang terhormat, berilmu, dan orang yang mempunyai keutamaan, kecuali ia pasti mempunyai aib. Akan tetapi, hendaknya orang lain tidak perlu menyebut-nyebut aibnya. Karena, bagi siapa yang keutamaannya lebih banyak daripada kekurangannya, maka kekurangannya akan ditutupi dengan keutamaannya.” (Al-Kifayah, hal. 102 dan Jamiu Bayani al-Ilmi wa Fadlihi, hal. 2/821).

Imam Ibnul Qayim rhm. berkata, “Barang siapa yang memiliki ilmu syar’i dan dia mempunyai kedudukan yang mulia dalam Islam, terkenal dengan keshalihan dan akhlak baiknya, apabila ia berijthiad dan salah—karna ia tidak terlepas dari kesalahan—maka dia tetap mendapatkan pahala atas ijtihadnya, dan orang lain tidak boleh mengikuti ijtihadnya yang salah, dan tidak boleh kita menjatuhkan nama baiknya di depan kaum muslimin.” (I’lamu al-Muwaqi’in, Ibnul Qayim, hal. 3/282).

9. Menjauhi perselisihan.

Perselisihan biasanya berawal dari kesalahan, peremehan, hawa nafsu, dan sifat berlebih-lebihan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rhm. berkata, “Dalam hal ini ada beberapa hal yang harus dijaga, di antaranya orang yang diam sama sekali pada permasalahan ini—apakah orang kafir melihat Tuhan mereka—… Oleh sebab itu, tidak sepantasnya bagi orang berilmu menjadikan permasalahan ini sebagai tameng untuk mengutamakan saudara-saudaranya yang ia sukai dan memojokkan kaum muslimin lainnya yang tidak ia sukai. Karena, yang seperti inilah yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan, hendaknya jangan membawa permasalahan ini kepada kaum muslimin yang masih awam, dikhawatirkan akan muncul fitnah di antara mereka. Kecuali, kalau ada seseorang yang bertanya, maka jawablah sesuai dengan kadar ilmu yang kamu miliki.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, hal. 6/503-504).

Beliau juga berkata, “Adapun perselisihan dalam masalah hukum, maka hal itu banyak terjadi di kalangan para sahabat. Sebagaimana sahabat Abu Bakar r.a. dan Umar r.a., keduanya adalah sayyid-nya kaum muslimin. Keduanya berselisih, tetapi keduanya tidak ada maksud apa pun kecuali kebaikan. Nabi saw. bersabda kepada para sahabatnya, ‘Jangan salah seorang di antara kalian shalat ashar kecuali setelah sampai di Bani Quraizhah.’ Akhirnya ketika mereka berada di tengah-tengah perjalanan, waktu shalat ashar pun tiba. Sekelompok dari mereka berkata, ‘Kita tidak akan shalat ashar kecuali setelah sampai di Bani Quraizhah.’ Sekelompok yang lain berkata, ‘Kami tidak ingin mengakhirkan shalat.’ Sehingga mereka pun shalat ketika berada di perjalanan, dan tidak ada seorang dari dua kelompok tersebut yang saling mencela.” (HR Bukhari dan Muslim), (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, hal. 24/173).

10. Membedakan antara perbedaan pendapat dengan perbedaan hati.

Tidak mengapa terjadinya perbedaan pendapat dan ijtihad. Tetapi, kaum muslimin harus mewaspadai bila terjadi perbedaan hati. Nabi saw. telah mengingatkan para sahabatnya dari hal itu. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a., ia berkata, saya telah mendengar seseorang yang membaca sebuah ayat, dan bacaannya berbeda terhadap apa yang telah saya dengar dari bacaan Nabi. Lalu saya datang kepada beliau dan menceritakan kejadian tersebut. Dari wajah beliau terpancar seolah-olah beliau tidak suka dengan kejadian tersebut. Kemudian beliau bersabda, “Kalian berdua adalah baik, tapi jangan kalian berselisih karena orang-orang terdahulu hancur akibat mereka berselisih.” (HR Bukhari, no. 3217).

11. Perselisihan itu pasti terjadi.

Perselisihan itu pasti terjadi dan sulit untuk dihindarkan. Tetapi, apabila ingin menyatukan barisan, perbedaan pendapat harus diminimilasasi dan berusaha untuk menyatukannya. Kecuali, pada hal-hal yang Islam memang memberi kelonggoran di dalamnya untuk berselisih seperti halnya dalam masalah furu’.

12. Membuka forum dialog disertai dengan akhlak yang baik.

Di antara cara meminimilasasi terjadinya perbedaan pendapat adalah dengan membuka berbagai forum dialog, karena dengannya akan didapati titik temunya. Bila kita amati, membuka forum dialog pun telah diajarkan oleh para salaf. Mereka berselisih dan berbeda pendapat, tetapi kemudian mereka membuka forum dialog dengan cara yang baik.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rhm. berkata, “Para ulama dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan orang-orang setelah mereka pernah berselisih dalam suatu perkara, tetapi mereka tetap mengikuti perintah Allah Ta’ala. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’: 59). Mereka saling tukar pikiran dalam suatu masalah, bermusyawarah, dan saling menasihati. Terkadang mereka berselisih dalam masalah ilmu ataupun perbuatan, tetapi mereka tetap menjaga hubungan persaudaraan.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, hal. 24/172).

13. Berusaha untuk mendamaikan antara dua orang yang berselisih.

Di antara unsur yang tak kalah pentingnya dalam menyatukan barisan umat ini adalah mengadakan perdamaian. Sebelum terjadinya permusuhan di antara sesama kaum muslimin, maka harus didamaikan. Allah telah berfirman: Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya!” (Al-Hujarat: 9).

Nabi saw. juga mengkuatkan pentingnya peranan ini. Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad bin As-Saaidy r.a., telah sampai kabar kepada Rasulullah bahwa Bani Auf bin Amru berselisih, maka kemudian Rasulullah saw. keluar mendamaikannya. (HR Bukhari [1224] dan Muslim [421]).

Sumber: Diadaptasi dari Wihdatush Shaffi Dharurah Syaikh Muhammad bin Abdullah Ad-Duwaisy (Majalah Islamiyah Syahriyah Al-Bayan, [Juli, 2002], hal. 30-36).

MAKNA SYAHADATAIN

Kalimat syahadat adalah pintu gerbang seseorang menjadi muslim. Ketika seseorang ingin masuk Islam, hal pertama yang dilakukan adalah mengucapkan “Asyhadu allaa ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammaddar rosuulullaah”. Dengan ucapan tersebut ia otomatis sudah menjadi seorang muslim yang memiliki konsekuensi menjalankan syariat Islam. Kalimat ini pulalah yang menentukan seseorang itu husnul khatimah atau su’ul khatimah di akhir hayatnya. Dengan kalimat ini pula pintu syurga terbuka untuknya.

Konsep yang terkandung dalam kalimat laa ilaaha illallaah adalah konsep pembebasan manusia dari penghambaan apapun kecuali Allah SWT semata-mata. Manusia menafikkan secara langsung segala bentuk ketuhanan yang ada di alam ini, kecuali hanya Allah SWT. Penolakan tersebut bertujuan untuk membersihkan aqidah dari syubhat ketuhanan dan menegaskan bahwa segala arti dan hakikat ketuhanan itu hanya ada pada Allah.

Kalimat syahadah ini memberikan pemahaman kepada kita dalam memahami dan bersikap bahwa tidak ada pencipta kecuali Allah saja, tiada pemberi rizki selain Allah, tiada pemilik selain Allah, tiada yang dicintai selain Allah, tiada yang ditakuti selain Allah, tiada yang diharapkan selain Allah, tiada yang menghidupkan dan mematikan selain Allah, tiada yang melindungi selain Allah, tiada daya dan kekuatan selain Allah dan tiada yang diagungkan selain Allah. Kemudian pengakuan Muhammad Rasulullah adalah menerima cara menghambakan diri berasal dari Rasulullah SAW sehingga tata cara penghambaan hanya berasal dari tuntunan Allah yang disampaikan kepada rasul-Nya.

Oleh karena itu syahadatain menjadi suatu pondasi dari sebuah metode lengkap yang menjadi asas kehidupan umat muslim. Dengan pondasi ini kehidupan Islami akan dapat ditegakkan. Semakin dalam pemahaman kita terhadap konsep syahadatain dan semakin menyeluruh kita mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, maka semakin utuh kehidupan Islami tumbuh dalam masyarakat muslim.

Definisi Syahadah
1. Secara bahasa, “Asyhadu” berarti saya bersaksi. Kesaksian ini bisa dilihat dari waktu, termasuk dalam aktivitas yang sedang berlangsung dan masih sedang dilakukan ketika diucapkan Asyhadu ini sendiri memiliki tiga arti:
a. Al I’lan (pernyataan), QS. Ali Imran (3) : 18
b. Al Wa’d (janji), QS. Ali Imran (3) : 81
c. Al Qosam (sumpah), QS. Al Munafiqun (63) : 2
2. Secara istilah syahadat merupakan pernyataan, janji sekaligus sumpah untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya melalui :
a. Pembenaran dalam hati (tasdiqu bil qolbi)
b. Dinyatakan dengan lisan (al qaulu bil lisan)
c. Dibuktikan dengan perbuatan (al ’amalu bil arkan)
Menurut hadist : “Iman adalah dikenali oleh hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan rukun-rukunnya”. (HR Ibnu Hibban)
Setelah memahami syahadah maka akan muncul keimanan, keimanan ini harus terus disempurnakan dengan sikap istiqomah, QS. Al Fushilat (41)
Istiqomah yang benar akan menghasilkan :
a. Syaja’ah (berani), QS.Al Maidah (5) : 52
b. Ithmi’nan (ketenangan), QS Ar Ra’du (13) : 28
c. Tafa’ul (optimis)

Jenis-jenisSyahadah
a. Syahadah Rububiyah yaitu pengakuan identitas terhadap Allah sebagai pencipta, pemilik, pemelihara dan penguasa,
QS. Al A’raf (7) : 172
b. Syahadah Uluhiyah yaitu : pengakuan loyalitas terhadap Allah sebagai satu-satunya supremasi yang boleh disembah dan ditaati, QS. Al A’raf (7) : 54
c. Syahadah risalah yaitu pengakuan terhadap diri Muhammad SAW sebagai utusan-Nya beliau adalah panutan terbaik bagi manusia,
QS. Al Ahzab (33) : 21

Makna Syahadat ”Laa ilaaha illallah”

”Laa ilaaha illallah” artinya: "Tidak ada sesembahan kecuali Allah", Ini adalah batil, karena maknanya: Sesungguhnya setiap yang disembah, baik yang hak maupun yang batil, itu adalah Allah.
Yaitu beri'tikad dan berikrar bahwasanya tidak ada yang berhak disembah dan menerima ibadah kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala, menta'ati hal terse-but dan mengamalkannya. La ilaaha menafikan hak penyembahan dari selain Allah, siapa pun orangnya. Illallah adalah penetapan hak Allah semata untuk disembah.
Jadi makna kalimat ini secara ijmal (global) adalah, "Tidak ada sesembahan yang hak selain Allah". Khabar "Laa " harus ditaqdirkan "bi haqqi" (yang hak), tidak boleh ditaqdirkan dengan "maujud " (ada). Karena ini menyalahi kenyataan yang ada, sebab tuhan yang disembah selain Allah banyak sekali. Hal itu akan berarti bahwa menyembah tuhan-tuhan tersebut adalah ibadah pula untuk Allah. Ini Tentu kebatilan yang nyata.

Syarat-syarat
Bersaksi dengan laa ilaaha illallah harus dengan tujuh syarat. Tanpa syarat-syarat itu syahadat tidak akan bermanfaat bagi yang mengucapkannya. Secara global tujuh syarat itu adalah:
1. 'Ilmu, yang menafikan jahl (kebodohan).
2. Yaqin (yakin), yang menafikan syak (keraguan).
3. Qabul (menerima), yang menafikan radd (penolakan).
4. Inqiyad (patuh), yang menafikan tark (meninggalkan).
5. Ikhlash, yang menafikan syirik.
6. Shidq (jujur), yang menafikan kadzib (dusta).
7. Mahabbah (kecintaan), yang menafikan baghdha' (kebencian).

http://materitarbiyah.wordpress.com/2008/01/31/makna-syahadatain/

M. Quraish Shihab Tafsir Al-misbah wal Akhidah Ahlaq, 2007, Lentera Hati, Jakarta.

SELAMAT DATANG

Terima Kasih atas kunjungan anda ke blog ini semoga bermanfaat

Pages

Arsip

Total Tayangan Halaman